Petungkriyono store
Oleh-oleh khas petungkriyono Wisata curug bajing kec petungkriyono kabupaten pekalongan 📲 082328620176
Selasa, 27 November 2018
Jumat, 23 November 2018
SITUS LINGGO YONI
Untuk mengunjunginya kita harus mengisi buku tamu dan meminta izin kepada juru kunci bernama bapak Ribut. dinamakan juru kunci karena beliau lah pemegang kuncinya, memang area situs ini selalu terkunci sejak dibangunnya pagar tembok pada tahun 2007 yang diprakasai oleh kapolres Petungkriyono saat itu bernama bapak Dewa Bagus Made Suharsa dengan maksud untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. bapak Ribut sendiri adalah juru kunci generasi ke tiga, ditunjuk menjadi juru kunci pada tahun 1992 menggantikan pamannya bapak Hasim, dimana sebelumnya dijabat kakek bapak Ribut yaitu bapak Wahid.
selepas berbincang, akhirnya kami memulai perjalanan untuk menuju situs. butuh waktu sekitar 10 menit dengan jarak kurang lebih 450 meter dari ujung barat daya desa. perjalanan yang agak melelahkan menyusuri sawah, menyebrang sungai, terbayar sudah saat sampai di lokasi situs dengan pemandangan perbukitan juga persawahan yang menghampa
dapat identifikasi bahwa situs benarlah sebuah Lingga-Yoni yang sangat cantik. terdapat naga melingkari Yoni dengan ukiran yang masih nampak baik. adapun ciri fisik Yoni ini memiliki tinggi bersama badan naga yaitu 92 cm, lebar panjang Yoni 76x76 cm, ukuran Lingga yang nampak berukir mahkota dari bagian atas Yoni setinggi 50 cm. adapun dua benda yang mirip Lingga kecil di atasnya, mungkin saja dari tempat lain yang ditaruh di sini, tinggi dua "Lingga kecil" ini 21cm. adapun panjang cerat Yoni sekitar 40 cm.
dari laporan arkeologi tahun 1977 di bawah naga ada lapik berbentuk kura-kura, akan tetapi kami tidak menemukannya saat itu. mulut naga dibuat dengan mulut menganga lidah menjulur dengan empat gigi taring, memiliki tanduk, memakai hiasan berupa kundala (anting-anting), kelat pada bagian leher, bersisik bak daun simbar, dan bentuk serupa segitiga antefik pada badan naga. dari ke empat gigi taring naga nampak patah satu, pak ribut menceritakan bahwa itu dipatahkan oleh anak penggembala pada tahun lampau, yang konon langsung membuat si anak itu meninggal dunia.
posisi Lingga-Yoni menghadap ke barat, di lubang cerat terukir seperti sepasang sayap. terdapat pula 2 arca Ganesha besar dan kecil masing-masing memiliki tinggi 52 cm dan 36 cm dengan kondisi yang sangat aus, hanya dapat dikenali samar-samar dengan posisi duduk bersila (wirasana). dibawah situs terdapat susunan batu yang memiliki luasan 3,8 meter x 4,63 meter.
entah berkaitan atau tidak, di desa Tlogopakis pada tahun 1952 pernah ditemukan sebuah prasasti berbentuk genta bertarikh 827 Caka / 905 Masehi, adapun isi dan penjabarannya menurut Profesor Boechari adalah tentang bentuk persembahan Rakryan I Wungkaltihang bernama Pu Wirakrama kepada Bhatara Sang Lumah I Rban. adanya kata Rban/Rabwan diduga bahwa di situ ada tempat tinggi/ziarah/tempat suci. adapun kata Bhatara adalah merujuk pada seorang bijak yang telah meninggal lalu arwahnya dilungguhkan di suatu tempat pemujaan, Prof Boechari menduga bahwa sang bijak itu adalah Raja yang meninggal tidak lama dari genta itu dibuat, yaitu Raja Rakai Wungkalhumalang Dyah Jbang.
situs Lingga-Yoni Nogopertolo terletak di antara 2 sungai, 100 meter di sebelah selatan ada sungai Planangan, 500 meter di sebelah utara ada sungai Pakis. di kelilingi pula perbukitan dari sebelah barat bukit Pronggo, bukit Perbuta, bukit Beser, bukit Bajing, bukit Semego dan gunung Rogojembangan.mengenai filosofi penamaan sebagai Nogopertolo, bapak Ribut menceritakan bahwa kata Pertolo berasal dari kata "mentolo" artinya jelas/pasti, secara keseluruhan bermakna "bahwa itu benar-benar naga". pada zaman dahulu, Naga dipercaya sebagai penyangga bumi, hal itu termaktub dalam dunia pewayangan dikenal sebagai Naga Anantaboga.
menuju perjalanan pulang bapak Ribut menunjukan jarinya ke rimbunnya tanaman padi di luar areal situs, dia memberi tahu bahwa di sana ada semacam punden bernama Watu Bucu. rasa penasaran kami harus tertahan, setelah menerima kenyataan bahwa untuk menengok Watu Bucu tidak ada akses jalannya selain menginjak sawah orang. okelah kapan-kapan bila ada kesempatan pasti kami tengok, dari pada ada petani yang mengepalkan tangan.
selepas berbincang, akhirnya kami memulai perjalanan untuk menuju situs. butuh waktu sekitar 10 menit dengan jarak kurang lebih 450 meter dari ujung barat daya desa. perjalanan yang agak melelahkan menyusuri sawah, menyebrang sungai, terbayar sudah saat sampai di lokasi situs dengan pemandangan perbukitan juga persawahan yang menghampa
dapat identifikasi bahwa situs benarlah sebuah Lingga-Yoni yang sangat cantik. terdapat naga melingkari Yoni dengan ukiran yang masih nampak baik. adapun ciri fisik Yoni ini memiliki tinggi bersama badan naga yaitu 92 cm, lebar panjang Yoni 76x76 cm, ukuran Lingga yang nampak berukir mahkota dari bagian atas Yoni setinggi 50 cm. adapun dua benda yang mirip Lingga kecil di atasnya, mungkin saja dari tempat lain yang ditaruh di sini, tinggi dua "Lingga kecil" ini 21cm. adapun panjang cerat Yoni sekitar 40 cm.
dari laporan arkeologi tahun 1977 di bawah naga ada lapik berbentuk kura-kura, akan tetapi kami tidak menemukannya saat itu. mulut naga dibuat dengan mulut menganga lidah menjulur dengan empat gigi taring, memiliki tanduk, memakai hiasan berupa kundala (anting-anting), kelat pada bagian leher, bersisik bak daun simbar, dan bentuk serupa segitiga antefik pada badan naga. dari ke empat gigi taring naga nampak patah satu, pak ribut menceritakan bahwa itu dipatahkan oleh anak penggembala pada tahun lampau, yang konon langsung membuat si anak itu meninggal dunia.
posisi Lingga-Yoni menghadap ke barat, di lubang cerat terukir seperti sepasang sayap. terdapat pula 2 arca Ganesha besar dan kecil masing-masing memiliki tinggi 52 cm dan 36 cm dengan kondisi yang sangat aus, hanya dapat dikenali samar-samar dengan posisi duduk bersila (wirasana). dibawah situs terdapat susunan batu yang memiliki luasan 3,8 meter x 4,63 meter.
entah berkaitan atau tidak, di desa Tlogopakis pada tahun 1952 pernah ditemukan sebuah prasasti berbentuk genta bertarikh 827 Caka / 905 Masehi, adapun isi dan penjabarannya menurut Profesor Boechari adalah tentang bentuk persembahan Rakryan I Wungkaltihang bernama Pu Wirakrama kepada Bhatara Sang Lumah I Rban. adanya kata Rban/Rabwan diduga bahwa di situ ada tempat tinggi/ziarah/tempat suci. adapun kata Bhatara adalah merujuk pada seorang bijak yang telah meninggal lalu arwahnya dilungguhkan di suatu tempat pemujaan, Prof Boechari menduga bahwa sang bijak itu adalah Raja yang meninggal tidak lama dari genta itu dibuat, yaitu Raja Rakai Wungkalhumalang Dyah Jbang.
situs Lingga-Yoni Nogopertolo terletak di antara 2 sungai, 100 meter di sebelah selatan ada sungai Planangan, 500 meter di sebelah utara ada sungai Pakis. di kelilingi pula perbukitan dari sebelah barat bukit Pronggo, bukit Perbuta, bukit Beser, bukit Bajing, bukit Semego dan gunung Rogojembangan.mengenai filosofi penamaan sebagai Nogopertolo, bapak Ribut menceritakan bahwa kata Pertolo berasal dari kata "mentolo" artinya jelas/pasti, secara keseluruhan bermakna "bahwa itu benar-benar naga". pada zaman dahulu, Naga dipercaya sebagai penyangga bumi, hal itu termaktub dalam dunia pewayangan dikenal sebagai Naga Anantaboga.
menuju perjalanan pulang bapak Ribut menunjukan jarinya ke rimbunnya tanaman padi di luar areal situs, dia memberi tahu bahwa di sana ada semacam punden bernama Watu Bucu. rasa penasaran kami harus tertahan, setelah menerima kenyataan bahwa untuk menengok Watu Bucu tidak ada akses jalannya selain menginjak sawah orang. okelah kapan-kapan bila ada kesempatan pasti kami tengok, dari pada ada petani yang mengepalkan tangan.
KOPI PETUNG
Owa Jawa (Hylobates moloch) adalah jenis
kera kecil yang hanya ada di Jawa. Lengkingan suaranya kerap terdengar di pagi
hari, mempunyai jelajah yang tetap, dan kesukaannya memakan buah-buahan hutan.
Hidupnya berkelompok kecil (2-7 individu), dan tergolong satwa paling setia (monogamy)
karena ia hanya hidup dengan pasangannya. Bahkan, jika pasangannya mati seekor
Owa rela hidup menyendiri sepanjang hayat. Satwa ini termasuk hewan yang
dilindungi, karena saat ini persebarannya terbatas akibat fragmentasi habitat,
degradasi hutan, juga pemburu. Kini, Lembaga konservasi dunia (UNC) menetapkan
hewan ini dalam kategori hewan yang terancam punah. Karena itu, dilakukan
penanganan Rehabilitasi Hutan Lahan (RHL) dan penanaman pohon dengan Kebun
Bibit Rakyat (KBR) untuk menjaga habitatnya.
Lalu, mengapa kopi ini disebut kopi Owa Jawa? Inilah sisi
menariknya, yakni kopi dan kelestarian Owa Jawa. Bukan seperti kopi luwak, yang
proses pembuatannya tak lepas dari peran hewan luwak sebagai perantara. Di
hutan Soko Kembang, praktik budidaya kopi yang sebenarnya telah banyak
berpengaruh terhadap masa depan kelestarian Owa Jawa dan secara langsung
mengangkat perekonomian masyarakat sekitar hutan.
Di sini keterkaitan antara kopi, kelestarian Owa Jawa serta
ekonomi kreatif benar-benar dapat saya pahami. Siklusnya seperti simbiosis
mutualisme (sama-sama menguntungkan). Tanaman-tanaman kopi tumbuh liar di
hutan, di bawah naungan pohon-pohon alami yang dihuni oleh satwa-satwa endemik
Jawa seperti Owa Jawa. Lalu, kopi ini diproses secara tradisional oleh
masyarakat sekitar hutan di Dusun Soko Kembang, yang tetap mempertahankan
pohon-pohon alami sebagai konsekuensi penting bagi konservasi habitat Owa Jawa
dan satwa-satwa endemik lainnya.
FASILITAS WISATA CURUG BAJING
Curug Bajing dilengkapi fasilitas penunjang wisata seperti
ü toilet
ü mushola
ü tempat sampah
ü tempat parker
ü aula
ü warung
kopi & makanan
PAKET WISATA PETUNGKRIYONO
PAKET WISATA MURAH PETUNGKRIYONO
Paket 1 Day
IDR 100 K
Min 15 Pak
Fasilitas
1. Transportasi (Anggun Paris) start Doro PP
2. Tiket Wisata Curug Bajing, Welo Asri
3. Makan Siang 1 X
4. Air mineral
Paket 1 Day
IDR 100 K
Min 15 Pak
Fasilitas
1. Transportasi (Anggun Paris) start Doro PP
2. Tiket Wisata Curug Bajing, Welo Asri
3. Makan Siang 1 X
4. Air mineral
5. Oleh - oleh
6. Dokumentasi
7. Local Guide
6. Dokumentasi
7. Local Guide
FESTIVAL ROGOJEMBANGAN
Diselenggarakan pada :
Hari/ Tanggal : Jumat – Minggu, 28 – 30 September 2018
Tempat : Petungkriyono Kabupaten Pekalongan
Acara :
- Panggung Seni Budaya
- Pameran Produk Unggulan
- Insta Camp
- Akustik Alas
- Eksplore Petungkriyono
- Resik Gunung
- Pasar Rakyat
- Prosesi Banyu Tuk Sanga
- 1000 Kopi 1000 Cimplung
- Kirab Gunungan
Hari/ Tanggal : Jumat – Minggu, 28 – 30 September 2018
Tempat : Petungkriyono Kabupaten Pekalongan
Acara :
- Panggung Seni Budaya
- Pameran Produk Unggulan
- Insta Camp
- Akustik Alas
- Eksplore Petungkriyono
- Resik Gunung
- Pasar Rakyat
- Prosesi Banyu Tuk Sanga
- 1000 Kopi 1000 Cimplung
- Kirab Gunungan
SEJARAH PETUNGKRIYONO
SEJARAH
SINGKAT PETUNGKRIYONO
a. Toponimi Petungkriono
Toponimi yaitu nama-nama tempat dimuka bumi yang
berasosiasi dengan peristiwa sejarah masa lampau. Untuk mengetahui Toponimi
biasanya dilakukan dengan pendekatan ilmu etimologi yaitu ilmu tentang asal-usul
arti kata, begitu halnya dengan Petungkriono yang berada di Kabupaten
Pekalongan bisa kita lakukan pengkajian lewat ilmu etimologi.
Menurut Etimologi, Petungkriono terdiri dari kata
Petung dan Kriono. Petung dari kata Betung dalam bahasa Mealyu Kuno yang
artinya rumpun bambu. Nama Betung pada masa pemerintahan Mataram Kuno sering
dipakai sebagai nama orang atau nama sungai, sedangkan nama Kriono asal dari
kata Rakyana (karayan) nama suatu jabatan kepala pemerintahan wilayah Sima.
Sebutan Rakyan berasal dari kata Rakai.
Dengan demikian berdasarkan kajian diatas, dapat
kita tarik kesimpulan bahwa Petungkriono dapat diartikan sebagai nama Rakyan
Betung, Dengan melihat fakta lapangan bahwa peninggalan-peninggalan di
Petungkriono terdapat beberapa fragmen candi dan arca serta lingga, hal itu
menunjukkan bahwa Petungkriono dahulunya merupakan suatu pusat pemerintahan
tingkat Sima atau Swatanta,menurut pola MataramKuno.
b. Potensi Alam dan Budaya
Petungkriono terletak ditengah-tengah jalur wisata
alam dan budaya dari Jogja-Borobudur-Magelang–Wonosobo-Banjarnegara-Pekalongan
dan Jakarta dan merupakan letak strategis jalur wisata pantura dari
Surabaya-Semarang-Pekalongan-Jakarta.
Dengan letaknya yang strategis itu ternyata juga,
Petungkriono merupakan salah satu bagian dari kawasan Dieng yang kaya dengan
potensi alam dan Wisata Budaya .Selain kawasan hutan yang masih luas (kurang
lebih 6000 Ha),habitat bagi kehidupan satwa endemik dilindungi disana seperti
elang jawa, owa,surili,macan tutul dan macam kumbang.Hal menarik lain adalah
apabila dilihat secaa bioregion kawasan Petungkriono juga memiliki posisi
penting sebagai cathment area (daerah tangkapan air) dengan sungai Kupang dan
sungai Sengkarang yang menjadi sumber kehidupan bagi daerah-daerah dibawahnya yaitu
Kabupaten Pekalongan sendiri, Kota Pekalongan, Batang dan Banjarnegara.
Apabila dilihat dari Situs Budaya. Petungkriono juga
memiliki nilai histories/kesejarahn yang cukup penting di Jawa. Yaitu berupa
peninggalan sejarah dari masa kerajaan Mataram Hindu (abad VII sampai abad IX
M) seperti Situs Nogopertolo, (lingga-Yoni), Situs Gedong, situs candi,dan
beberapa peninggalan sejarah dari masa kerajaan Islam (petilasan Kyai Bagus
(didusun Kambangan desa Tlogopakis dan Kyai Wendran didusun Dranan desa Yosorejo.
Nilai-nilai dan kesenian lokal yang masih
dipertahankan di Petungkriono seperti Nyadran Tlogo, Nyadran Bumi, Kesenian
ronggeng, kuntulan, jaran embig (kuda kepang), tradisi gedig ( berburu babi
hutan).
c. Peninggalan Benda Cagar Budaya (BCB) di Petungkriono
Adapun peninggalan-peningan situs-situs di
Petungkriono adalah sebagai berikut;
a. Situs Linggo Yoni
Situs ini berlokasi di dusun kambangan desa
Tlogopakais, Sudah diadakan kegiatan antara lain; pendataan penyelamatan Tahun
1990/1991, pendataan Benda Cagar Budaya (BCB) Tahun 1993/1994 dan pengadaan
juru pelihara Tahun 1982/1983.
Pada lokasi situs itu terdapat satu buah lingo yoni,
dan 2 (dua) buah arca.
b. Situs Linggo Yoni (Naga Pertala)
Situs ini berlokasi didusun Tlogopakis desa
Tlogopakis. Ditemukan sekitar abad ke IV-IX SM.
Pada lokasi situs terdapat hiasan Ular Naga dibawah
cerat Yoni, tubuh naga melingkar dibawah badan Yoni, naga memakai anting-anting
kalung (kluntingan), lidah menjulur keluar daengan hiasan daun, terdapat dua
buah lingo semu diatas cerat yang berada dikomplek situs lingo yoni.
c. Situs Arca Ganesha
Situs ini berlokasi di desa Tlogopakis,.terdapat
warna abu kehitam-hitaman pad situs ini, dan terletak berada pada situs lingo
yoni.
d. Y o n i
Lokasi situs ini berada didusun Tlogopaskis desa
Tlogopakis. Kondisi sekarang Situs ini dalam keadaan ambruk ditengah sawah yang
dulu diperoleh lewat cara hasil ekskavasi/survey.
e. 2 Lumpung
Lokasi situs ini berada didusun Kambangan desa
Tlogopakis, di Situs ini terdapat warna abu-abu kehitam-hitaman yang menurut
keterangan, kedua lumpung batu ini berada pada situs Gedong yang merupakan
hasil ekskavasi/survey.
d. Petungkriono Masa Syailendra ( abad ke-VII-IX M )
Keturunan Dapuntra Syailendra yaiatu Sanjaya
penganut agama hindu adalah merupakan cikal bakal dari mataram kuno yang
mendirikan pusat kerajaan di Pekalongan pada pertengahan abad ke-7, terletak di
Limpung Kabupaten Batang dibuktikan dengan adanya prasasti Sojomerto.Diduga
lokasi kerajaan Sanjaya dahulunya terletak diantara Limpung dengan pantai utara
sebelah timur kota Batang yang dulu sebelum Batang menjadi Kabupaten merupakan
wilayah Pekalongan. Kemudian pusat kerajaan Sanjaya bergeser keselatan
disebelah selatan pegunungan Dieng, yaitu Kedu Selatan sebagai sebagai bukti
ditemukannya Prasasti canggal pada tahun 732 M di Desa Kadilluwih Kecamatan
Salam Kabupaten Magelang. Lokasi ini berbatasan dengan wilayah Sleman Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY).
Diwilayah Kabupaten Pekalongan hanya ditemukan
sebuah prasasti Rabwan yang ditemukan di Petungkriono bentuknya genta perungu .
Genta ini dipahati tulisan jawa kuno, tepatnya di Desa Tlogo pakis ditemukan
pada tahun 1952 yang wujudnya berupa genta perungu. Sekarang artepak ini ini
disimpan di Musium Jakarta. Isinya menyebutkan bahwa Rakyan I Wungkaltihang
bernama Pu Wirakrama mempersembahkan sebuah genta perungu kepada Bhatara Sang
Lumah I Rban pada tahun 905M.
e. Petungkriono Pusat Pemerintahan Pekalongan Hindu
Kuno
Struktur Pemerintahan masa kerajaan Mataram kuno
Syailendra adalah Pusat Pemerintahannya berada di Ratu Boko dan Dieng.
Sedangkan kerakaian Pekalongan pada saat itu tidak langsung dibawah kekuasaan
kerajaan, akan tetapi dibawah pemerintahan para Rakai yang bertempat diparakan
Temanggung. Pekalongan pada waktu itu dipimpin oleh Rakai Rakyan Betung dengan
pusat pemerintahannya di Petungkriono.
Sebagai pusat pemerintahan, Petungkriono membawahi
wilayah perdikan, Desa (Wana) dan Sima. Desa-desa atau Wana dan Sima itu adalah
nama sekarang merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Pekalongan seperti
Wonopringgo, Wonokerto. Dahulunya adalah nama-nama desa yang kepala desanya
disebut Phatani
Langganan:
Postingan (Atom)
petung tril run

-
PAKET WISATA MURAH PETUNGKRIYONO Paket 1 Day IDR 100 K Min 15 Pak Fasilitas 1. Transportasi (Anggun Paris) start Doro PP 2. Tiket Wisata...
-
Curug Bajing dilengkapi fasilitas penunjang wisata seperti ü toilet ü mushola ü tempat sampah ü tempat parker ü aula ...