Jumat, 23 November 2018

SITUS LINGGO YONI

 Untuk mengunjunginya kita harus mengisi buku tamu dan meminta izin kepada juru kunci bernama bapak Ribut. dinamakan juru kunci karena beliau lah pemegang kuncinya, memang area situs ini selalu terkunci sejak dibangunnya pagar tembok pada tahun 2007 yang diprakasai oleh kapolres Petungkriyono saat itu bernama bapak Dewa Bagus Made Suharsa dengan maksud untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. bapak Ribut sendiri adalah juru kunci generasi ke tiga, ditunjuk menjadi juru kunci pada tahun 1992 menggantikan pamannya bapak Hasim, dimana sebelumnya dijabat kakek bapak Ribut yaitu bapak Wahid.
selepas berbincang, akhirnya kami memulai perjalanan untuk menuju situs. butuh waktu sekitar 10 menit dengan jarak kurang lebih 450 meter dari ujung barat daya desa. perjalanan yang agak melelahkan menyusuri sawah, menyebrang sungai, terbayar sudah saat sampai di lokasi situs dengan pemandangan perbukitan juga persawahan yang menghampa


dapat identifikasi bahwa situs benarlah sebuah Lingga-Yoni yang sangat cantik. terdapat naga melingkari Yoni dengan ukiran yang masih nampak baik. adapun ciri fisik Yoni ini memiliki tinggi bersama badan naga yaitu 92 cm, lebar panjang Yoni 76x76 cm, ukuran Lingga yang nampak berukir mahkota dari bagian atas Yoni setinggi 50 cm. adapun dua benda yang mirip Lingga kecil di atasnya, mungkin saja dari tempat lain yang ditaruh di sini, tinggi dua "Lingga kecil" ini 21cm. adapun panjang cerat Yoni sekitar 40 cm.
dari laporan arkeologi tahun 1977 di bawah naga ada lapik berbentuk kura-kura, akan tetapi kami tidak menemukannya saat itu. mulut naga dibuat dengan mulut menganga lidah menjulur dengan empat gigi taring, memiliki tanduk, memakai hiasan berupa kundala (anting-anting), kelat pada bagian leher, bersisik bak daun simbar, dan bentuk serupa segitiga antefik pada badan naga. dari ke empat gigi taring naga nampak patah satu, pak ribut menceritakan bahwa itu dipatahkan oleh anak penggembala pada tahun lampau, yang konon langsung membuat si anak itu meninggal dunia.

posisi Lingga-Yoni menghadap ke barat, di lubang cerat terukir seperti sepasang sayap. terdapat pula 2 arca Ganesha besar dan kecil masing-masing memiliki tinggi 52 cm dan 36 cm dengan kondisi yang sangat aus, hanya dapat dikenali samar-samar dengan posisi duduk bersila (wirasana). dibawah situs terdapat susunan batu yang memiliki luasan 3,8 meter x 4,63 meter.
entah berkaitan atau tidak, di desa Tlogopakis pada tahun 1952 pernah ditemukan sebuah prasasti berbentuk genta bertarikh 827 Caka / 905 Masehi, adapun isi dan penjabarannya menurut Profesor Boechari adalah tentang bentuk persembahan Rakryan I Wungkaltihang bernama Pu Wirakrama kepada Bhatara Sang Lumah I Rban. adanya kata Rban/Rabwan diduga bahwa di situ ada tempat tinggi/ziarah/tempat suci. adapun kata Bhatara adalah merujuk pada seorang bijak yang telah meninggal lalu arwahnya dilungguhkan di suatu tempat pemujaan, Prof Boechari menduga bahwa sang bijak itu adalah Raja yang meninggal tidak lama dari genta itu dibuat, yaitu Raja Rakai Wungkalhumalang Dyah Jbang.
situs Lingga-Yoni Nogopertolo terletak di antara 2 sungai, 100 meter di sebelah selatan ada sungai Planangan, 500 meter di sebelah utara ada sungai Pakis. di kelilingi pula perbukitan dari sebelah barat bukit Pronggo, bukit Perbuta, bukit Beser, bukit Bajing, bukit Semego dan gunung Rogojembangan.mengenai filosofi penamaan sebagai Nogopertolo, bapak Ribut menceritakan bahwa kata Pertolo berasal dari kata "mentolo" artinya jelas/pasti, secara keseluruhan bermakna "bahwa itu benar-benar naga". pada zaman dahulu, Naga dipercaya sebagai penyangga bumi, hal itu termaktub dalam dunia pewayangan dikenal sebagai Naga Anantaboga.
menuju perjalanan pulang bapak Ribut menunjukan jarinya ke rimbunnya tanaman padi di luar areal situs, dia memberi tahu bahwa di sana ada semacam punden bernama Watu Bucu. rasa penasaran kami harus tertahan, setelah menerima kenyataan bahwa untuk menengok Watu Bucu tidak ada akses jalannya selain menginjak sawah orang. okelah kapan-kapan bila ada kesempatan pasti kami tengok, dari pada ada petani yang mengepalkan tangan.

KOPI PETUNG


Owa Jawa (Hylobates moloch) adalah jenis kera kecil yang hanya ada di Jawa. Lengkingan suaranya kerap terdengar di pagi hari, mempunyai jelajah yang tetap, dan kesukaannya memakan buah-buahan hutan. Hidupnya berkelompok kecil (2-7 individu), dan tergolong satwa paling setia (monogamy) karena ia hanya hidup dengan pasangannya. Bahkan, jika pasangannya mati seekor Owa rela hidup menyendiri sepanjang hayat. Satwa ini termasuk hewan yang dilindungi, karena saat ini persebarannya terbatas akibat fragmentasi habitat, degradasi hutan, juga pemburu. Kini, Lembaga konservasi dunia (UNC) menetapkan hewan ini dalam kategori hewan yang terancam punah. Karena itu, dilakukan penanganan Rehabilitasi Hutan Lahan (RHL) dan penanaman pohon dengan Kebun Bibit Rakyat (KBR) untuk menjaga habitatnya.
Lalu, mengapa kopi ini disebut kopi Owa Jawa? Inilah sisi menariknya, yakni kopi dan kelestarian Owa Jawa. Bukan seperti kopi luwak, yang proses pembuatannya tak lepas dari peran hewan luwak sebagai perantara. Di hutan Soko Kembang, praktik budidaya kopi yang sebenarnya telah banyak berpengaruh terhadap masa depan kelestarian Owa Jawa dan secara langsung mengangkat perekonomian masyarakat sekitar hutan.
Di sini keterkaitan antara kopi, kelestarian Owa Jawa serta ekonomi kreatif benar-benar dapat saya pahami. Siklusnya seperti simbiosis mutualisme (sama-sama menguntungkan). Tanaman-tanaman kopi tumbuh liar di hutan, di bawah naungan pohon-pohon alami yang dihuni oleh satwa-satwa endemik Jawa seperti Owa Jawa. Lalu, kopi ini diproses secara tradisional oleh masyarakat sekitar hutan di Dusun Soko Kembang, yang tetap mempertahankan pohon-pohon alami sebagai konsekuensi penting bagi konservasi habitat Owa Jawa dan satwa-satwa endemik lainnya.


FASILITAS WISATA CURUG BAJING


Curug Bajing dilengkapi fasilitas penunjang wisata seperti
ü  toilet
ü  mushola
ü  tempat sampah
ü  tempat parker
ü  aula
ü   warung kopi & makanan
                                                           

PAKET WISATA PETUNGKRIYONO


PAKET WISATA MURAH PETUNGKRIYONO

Paket 1 Day
IDR 100 K
Min 15 Pak
Fasilitas
1.  Transportasi (Anggun Paris) start Doro PP
2.  Tiket Wisata Curug Bajing, Welo Asri
3.  Makan Siang 1 X
4.  Air mineral
5.  Oleh - oleh
6.  Dokumentasi
7.  Local Guide


FESTIVAL ROGOJEMBANGAN


Diselenggarakan pada :

Hari/ Tanggal : Jumat – Minggu, 28 – 30 September 2018

Tempat : Petungkriyono Kabupaten Pekalongan

Acara :

- Panggung Seni Budaya

- Pameran Produk Unggulan

- Insta Camp

- Akustik Alas

- Eksplore Petungkriyono

- Resik Gunung

- Pasar Rakyat

- Prosesi Banyu Tuk Sanga

- 1000 Kopi 1000 Cimplung

- Kirab Gunungan

SEJARAH PETUNGKRIYONO


SEJARAH SINGKAT PETUNGKRIYONO

a. Toponimi Petungkriono
Toponimi yaitu nama-nama tempat dimuka bumi yang berasosiasi dengan peristiwa sejarah masa lampau. Untuk mengetahui Toponimi biasanya dilakukan dengan pendekatan ilmu etimologi yaitu ilmu tentang asal-usul arti kata, begitu halnya dengan Petungkriono yang berada di Kabupaten Pekalongan bisa kita lakukan pengkajian lewat ilmu etimologi.
Menurut Etimologi, Petungkriono terdiri dari kata Petung dan Kriono. Petung dari kata Betung dalam bahasa Mealyu Kuno yang artinya rumpun bambu. Nama Betung pada masa pemerintahan Mataram Kuno sering dipakai sebagai nama orang atau nama sungai, sedangkan nama Kriono asal dari kata Rakyana (karayan) nama suatu jabatan kepala pemerintahan wilayah Sima. Sebutan Rakyan berasal dari kata Rakai. 
Dengan demikian berdasarkan kajian diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa Petungkriono dapat diartikan sebagai nama Rakyan Betung, Dengan melihat fakta lapangan bahwa peninggalan-peninggalan di Petungkriono terdapat beberapa fragmen candi dan arca serta lingga, hal itu menunjukkan bahwa Petungkriono dahulunya merupakan suatu pusat pemerintahan tingkat Sima atau Swatanta,menurut pola MataramKuno.
b. Potensi Alam dan Budaya
Petungkriono terletak ditengah-tengah jalur wisata alam dan budaya dari Jogja-Borobudur-Magelang–Wonosobo-Banjarnegara-Pekalongan dan Jakarta dan merupakan letak strategis jalur wisata pantura dari Surabaya-Semarang-Pekalongan-Jakarta.
Dengan letaknya yang strategis itu ternyata juga, Petungkriono merupakan salah satu bagian dari kawasan Dieng yang kaya dengan potensi alam dan Wisata Budaya .Selain kawasan hutan yang masih luas (kurang lebih 6000 Ha),habitat bagi kehidupan satwa endemik dilindungi disana seperti elang jawa, owa,surili,macan tutul dan macam kumbang.Hal menarik lain adalah apabila dilihat secaa bioregion kawasan Petungkriono juga memiliki posisi penting sebagai cathment area (daerah tangkapan air) dengan sungai Kupang dan sungai Sengkarang yang menjadi sumber kehidupan bagi daerah-daerah dibawahnya yaitu Kabupaten Pekalongan sendiri, Kota Pekalongan, Batang dan Banjarnegara.
Apabila dilihat dari Situs Budaya. Petungkriono juga memiliki nilai histories/kesejarahn yang cukup penting di Jawa. Yaitu berupa peninggalan sejarah dari masa kerajaan Mataram Hindu (abad VII sampai abad IX M) seperti Situs Nogopertolo, (lingga-Yoni), Situs Gedong, situs candi,dan beberapa peninggalan sejarah dari masa kerajaan Islam (petilasan Kyai Bagus (didusun Kambangan desa Tlogopakis dan Kyai Wendran didusun Dranan desa Yosorejo. 
Nilai-nilai dan kesenian lokal yang masih dipertahankan di Petungkriono seperti Nyadran Tlogo, Nyadran Bumi, Kesenian ronggeng, kuntulan, jaran embig (kuda kepang), tradisi gedig ( berburu babi hutan).

c. Peninggalan Benda Cagar Budaya (BCB) di Petungkriono
Adapun peninggalan-peningan situs-situs di Petungkriono adalah sebagai berikut;
a. Situs Linggo Yoni
Situs ini berlokasi di dusun kambangan desa Tlogopakais, Sudah diadakan kegiatan antara lain; pendataan penyelamatan Tahun 1990/1991, pendataan Benda Cagar Budaya (BCB) Tahun 1993/1994 dan pengadaan juru pelihara Tahun 1982/1983.
Pada lokasi situs itu terdapat satu buah lingo yoni, dan 2 (dua) buah arca.
b. Situs Linggo Yoni (Naga Pertala)
Situs ini berlokasi didusun Tlogopakis desa Tlogopakis. Ditemukan sekitar abad ke IV-IX SM.
Pada lokasi situs terdapat hiasan Ular Naga dibawah cerat Yoni, tubuh naga melingkar dibawah badan Yoni, naga memakai anting-anting kalung (kluntingan), lidah menjulur keluar daengan hiasan daun, terdapat dua buah lingo semu diatas cerat yang berada dikomplek situs lingo yoni.
c. Situs Arca Ganesha
Situs ini berlokasi di desa Tlogopakis,.terdapat warna abu kehitam-hitaman pad situs ini, dan terletak berada pada situs lingo yoni.
d. Y o n i 
Lokasi situs ini berada didusun Tlogopaskis desa Tlogopakis. Kondisi sekarang Situs ini dalam keadaan ambruk ditengah sawah yang dulu diperoleh lewat cara hasil ekskavasi/survey.
e. 2 Lumpung
Lokasi situs ini berada didusun Kambangan desa Tlogopakis, di Situs ini terdapat warna abu-abu kehitam-hitaman yang menurut keterangan, kedua lumpung batu ini berada pada situs Gedong yang merupakan hasil ekskavasi/survey.
d. Petungkriono Masa Syailendra ( abad ke-VII-IX M )
Keturunan Dapuntra Syailendra yaiatu Sanjaya penganut agama hindu adalah merupakan cikal bakal dari mataram kuno yang mendirikan pusat kerajaan di Pekalongan pada pertengahan abad ke-7, terletak di Limpung Kabupaten Batang dibuktikan dengan adanya prasasti Sojomerto.Diduga lokasi kerajaan Sanjaya dahulunya terletak diantara Limpung dengan pantai utara sebelah timur kota Batang yang dulu sebelum Batang menjadi Kabupaten merupakan wilayah Pekalongan. Kemudian pusat kerajaan Sanjaya bergeser keselatan disebelah selatan pegunungan Dieng, yaitu Kedu Selatan sebagai sebagai bukti ditemukannya Prasasti canggal pada tahun 732 M di Desa Kadilluwih Kecamatan Salam Kabupaten Magelang. Lokasi ini berbatasan dengan wilayah Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Diwilayah Kabupaten Pekalongan hanya ditemukan sebuah prasasti Rabwan yang ditemukan di Petungkriono bentuknya genta perungu . Genta ini dipahati tulisan jawa kuno, tepatnya di Desa Tlogo pakis ditemukan pada tahun 1952 yang wujudnya berupa genta perungu. Sekarang artepak ini ini disimpan di Musium Jakarta. Isinya menyebutkan bahwa Rakyan I Wungkaltihang bernama Pu Wirakrama mempersembahkan sebuah genta perungu kepada Bhatara Sang Lumah I Rban pada tahun 905M.
e. Petungkriono Pusat Pemerintahan Pekalongan Hindu Kuno
Struktur Pemerintahan masa kerajaan Mataram kuno Syailendra adalah Pusat Pemerintahannya berada di Ratu Boko dan Dieng. Sedangkan kerakaian Pekalongan pada saat itu tidak langsung dibawah kekuasaan kerajaan, akan tetapi dibawah pemerintahan para Rakai yang bertempat diparakan Temanggung. Pekalongan pada waktu itu dipimpin oleh Rakai Rakyan Betung dengan pusat pemerintahannya di Petungkriono.
Sebagai pusat pemerintahan, Petungkriono membawahi wilayah perdikan, Desa (Wana) dan Sima. Desa-desa atau Wana dan Sima itu adalah nama sekarang merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Pekalongan seperti Wonopringgo, Wonokerto. Dahulunya adalah nama-nama desa yang kepala desanya disebut Phatani


petung tril run